on Jumat, 08 Februari 2013

Oranye, warna cerah yang berat untuk kutatap. Mataku yang menyorot kosong menyapu tiap sudut ruangan. Mencari pecahan hati yang baru saja hancur.

Oranye, warna kesukaannya. Tadi dia datang, dengan baju berwarna oranye kesukaannya. Senyumnya cerah seperti biasan oranye saat ini. Namun oranyenya berambigu dengan kesedihan. Bahagia dan kesedihan.

Mataku terperangkap pada matanya. "Softlens oranye?" tanyaku. Ia mengangguk. Lalu Ia duduk di sampingku, menyesap minuman coklat yang baru saja kubuat.

"Aku rindu. Wajahmu, matamu, hidungmu, tawa renyahmu, dan tentu saja, bibirmu." katanya sambil mendekat lalu menciumku. Manis. Mungkin karena dia baru saja meminum coklat tadi. Namun tadi itu sempat menerbangkanku entah kemana. Tiba-tiba sorot matanya berubah, seperti penuh penyesalan.

"Lusa, aku harus pergi." katanya. Tatapanku jadi penuh tanya. "Ayah, menyuruhku melanjutkan pendidikan di Australia. Jadi, aku pergi. Mungkin untuk waktu yang lama." aku menahan tangisku. Sebentar lagi aku tidak akan melihat perempuan yang sangat kusayangi dalam waktu yang lama.

Hari ini dia pergi. Hatiku mulai gelisah. Dia memang sengaja memintaku untuk tidak datang agar kepergiannya tidak terlalu berat. Namun rinduku ini terlalu menyiksa dengan telepon genggamku. Tidak diangkat. Aku memutuskan untuk langsung ke rumahnya.

Taksi yang kutumpangi berhenti di depan rumahnya. Aku tiba di saat matahari menyorot cahaya oranyenya. Tanpa ba-bi-bu, aku langsung masuk dan membuka pintu tanpa permisi.

Senja ini merah.

Darah tercetak di mana-mana. Ada mayat yang tergantung di tengah ruang tamu yang besar itu. Itu ayahnya. Aku terperangah. Diriku diselimuti kebingungan. Aku berlari ke arah kamarnya.

Dadanya berlubang. Matanya melotot kaget. Cairan merah kental mengalir dari mulutnya. Bibirnya yang manis ternoda. Tangisku pecah. Aku memeluk dirinya. Pelukannya tak terasa hangat lagi. Biar saja pakaianku penuh darah, yang jelas hatiku harus merelakannya dulu. Kali ini, kucium bibirnya. Kukecap darahnya yang anyir itu. Ini ciuman terakhir kami, yang benar-benar terakhir.

Aku kembali di ruang tamu tadi. Tanpa kusadari, ada "BAYAR HUTANGMU!" tertulis di lantai, tertulis dengan darah.

Senjaku tak pernah indah lagi. Oranyeku tak bisa kurasakan lagi. Senja ini, kuhabiskan dengan menatap langit. Menatap hangatnya oranye yang sudah tak hangat lagi dalam dadaku.

on Kamis, 07 Februari 2013

Aku terbaring di ranjangku. Menatap kosong langit-langit kamarku sambil melihat pertengkaran otak dan hatiku. Logika melawan perasaan. Mengapa mereka tidak berdamai, saling menyukai satu sama lain, lalu bercinta? Mengapa mereka seperti dua magnet yang medannya sama?

Aku sendiri ingin meledak! Meledak seperti--pokoknya secara harafiah. Aku lelah melihat pertengkaran perasaan dan logikaku. Tentang mana yang akan kupilih dalam membuat jalan ke depan. Ya, aku sedang berdiri di persimpangan.

Dia. Semua ini karena dia. Dia yang selalu membuatku semangat menjalani hari. Dia--pokoknya dia yang aku suka, bahkan aku cinta! Dia yang seperti mengisi setiap pelosok hatiku. Dia yang selalu membuatku berpikir kalau aku tidak sendirian di dunia ini. Dia teman, musuh, sahabat, dan pacarku. Aku menyukainya seperti seorang laki-laki normal yang menyukai wanitanya.

Aku selalu bercinta dengan kesepian. Namun, memang hanya dia yang selalu menepuk pundakku dan menggandeng tanganku. Mengajakku melihat ke dunia luar, menyadari bahwa dirinya lebih berharga dari kesunyian. Kemudian, aku teradiksi padanya.

Malam ini, dirinya hilang. Aku tak menemukannya. Logikaku memerintahkan untuk kembali pada sang Kesepian, sementara di hatiku masih terpatri nama dan kenangannya. Mereka bertengkar. Meributkan tentang jalan yang harus kupilih di persimpangan ini. Hatiku kalah, dia terlalu lemah untuk hal ini. Malam ini, aku kembali bercinta dengan kesepian.