on Kamis, 27 Juni 2013

Lelah. Kembali dipojokkan oleh kesibukan pokok mahasiswa yang ingin cepat-cepat lulus; skripsi. Benar apa yang mereka katakan, skripsi itu memperpendek keinginan kita untuk hidup. Ah berlebihan, hahahaha…

Padahal ini akhir pekan, malam minggu pula, seharusnya aku tidak melayani kertas-kertas yang ingin ditulisi itu. Kemudian mataku tidak sengaja menangkap sebuah foto yang terpajang manis di pigura kayu. Disana ada aku dan dia, yang tersenyum manis dengan kaus lengan panjang abu-abunya yang membuat dia terlihat imut dan kepalanya yang bersandar di bahuku. Lucu sekali. Sudah lama aku tidak menghubunginya. Ya, kesibukan ini seperti mendindingi hubungan kami.

"Halo?"
"Hey." ucapku membuka percakapan.
"Kok baru telepon? Udah lupa ya sama aku?"
"Ga mungkin aku lupa. Akhir-akhir ini aku sibuk ngerjain skripsi."
"Skripsi? Cieee, buru-buru lulus banget."
"Iya lah. Buat apa kuliah lama-lama? Aku juga pengen buru-buru pulang. Ketemu kamu."
Kemudian dia menghela napas berat, "Aku rindu kamu, Gas. Banget."
"Aku juga. Njel. Ga mungkin engga."
"Jadi kapan kamu pulang?"
"Belum tau. Yang jelas begitu aku lulus aku bakal buru-buru pulang."
"Jangan-jangan kamu ketemu sama cewek lain ya di sana? Terus kamu diam-diam bakal jadi warga negara sana, terus kamu bakal tinggal disana, terus kamu pac--"
"Engga," potongku.
"Aku ga sejahat itu. Aku pasti pulang suatu saat. Aku pasti ketemu kamu lagi."
"Syukurlah, kamu masih mau sama aku."
"Emang aku pernah bilang aku udah ga mau?"
"Siapa tau aja. Cewek-cewek Aussie kan bule semua gitu."
"Terus kenapa kalo bule?"
"Bule kan rata-rata cantik."
"Emang kamu ga merasa cantik?"
"Siapa tau mereka lebih?"
"Mungkin mereka bisa lebih cantik. Tapi emang mereka bisa gantiin kamu?"
"Gombal!"
"Tapi kamu pasti lagi ngeblush kan?"
"Kata siapa?"
"Kata aku barusan. Ya kan?"
"I-iya sih..."
"Kamu inget lagu Adelaide Sky?" tanyaku sambil meraih fotonya dari mejaku.
"Inget kok. Masih sering aku puter di playlistku."
"Lagu itu tuh selalu--"
"Selalu bikin kepala kamu penuh sama aku. Karena kamu mungkin ga kayak gini kalo ga ketemu aku."
"Hahahaha, iya. Aku sering ngomong begitu ya?"
"Aku hafal malah."
"Kalo sekarang aku bisa pulang, aku bakal pulang deh."
"Kalo sekarang aku bisa ke sana, aku udah ke sana deh."
"We miss each other a lot. Don't we?"
"Yes, we do."
----------------------
Hari ini tanggal 14 Maret 2019. Akhirnya skripsiku berada di tangan dosen dan aku dinyatakan lulus. Setelah acara seremonial yang entah kenapa sudah tidak begitu penting untukku, aku langsung berlari ke telepon umum terdekat dan langsung meneleponnya.

"Halo?" tidak ada jawaban dari sana. Mungkin masih proses dihubungkan.

"Halo?" masih tidak ada jawaban.
"The number you're calli--"
"Tch. Kenapa operator?! Kamu di mana, Njel?!" teriakku gusar dari dalam hati.
"The number you're--"
"Masa kartu teleponnya rusak sih? Kemarin masih bisa ngobrol sama orang rumah kok." kataku lagi dalam hati.

Sudah kucoba berkali-kali. Orang-orang yang lewat memperhatikanku dengan raut wajah yang aneh.

"Ayolah harus bisa!" kali ini aku benar-benar berteriak. Semakin banyak saja raut wajah aneh yang tertuju padaku.
"The number you--" aku membiarkanku gagang telepon itu lepas dari genggamanku. Lututku lemas. Aku jatuh bersimpuh. Badanku lemas, hatiku terlebih. Air mataku mengalir deras membasahi aspal.

on Jumat, 08 Februari 2013

Oranye, warna cerah yang berat untuk kutatap. Mataku yang menyorot kosong menyapu tiap sudut ruangan. Mencari pecahan hati yang baru saja hancur.

Oranye, warna kesukaannya. Tadi dia datang, dengan baju berwarna oranye kesukaannya. Senyumnya cerah seperti biasan oranye saat ini. Namun oranyenya berambigu dengan kesedihan. Bahagia dan kesedihan.

Mataku terperangkap pada matanya. "Softlens oranye?" tanyaku. Ia mengangguk. Lalu Ia duduk di sampingku, menyesap minuman coklat yang baru saja kubuat.

"Aku rindu. Wajahmu, matamu, hidungmu, tawa renyahmu, dan tentu saja, bibirmu." katanya sambil mendekat lalu menciumku. Manis. Mungkin karena dia baru saja meminum coklat tadi. Namun tadi itu sempat menerbangkanku entah kemana. Tiba-tiba sorot matanya berubah, seperti penuh penyesalan.

"Lusa, aku harus pergi." katanya. Tatapanku jadi penuh tanya. "Ayah, menyuruhku melanjutkan pendidikan di Australia. Jadi, aku pergi. Mungkin untuk waktu yang lama." aku menahan tangisku. Sebentar lagi aku tidak akan melihat perempuan yang sangat kusayangi dalam waktu yang lama.

Hari ini dia pergi. Hatiku mulai gelisah. Dia memang sengaja memintaku untuk tidak datang agar kepergiannya tidak terlalu berat. Namun rinduku ini terlalu menyiksa dengan telepon genggamku. Tidak diangkat. Aku memutuskan untuk langsung ke rumahnya.

Taksi yang kutumpangi berhenti di depan rumahnya. Aku tiba di saat matahari menyorot cahaya oranyenya. Tanpa ba-bi-bu, aku langsung masuk dan membuka pintu tanpa permisi.

Senja ini merah.

Darah tercetak di mana-mana. Ada mayat yang tergantung di tengah ruang tamu yang besar itu. Itu ayahnya. Aku terperangah. Diriku diselimuti kebingungan. Aku berlari ke arah kamarnya.

Dadanya berlubang. Matanya melotot kaget. Cairan merah kental mengalir dari mulutnya. Bibirnya yang manis ternoda. Tangisku pecah. Aku memeluk dirinya. Pelukannya tak terasa hangat lagi. Biar saja pakaianku penuh darah, yang jelas hatiku harus merelakannya dulu. Kali ini, kucium bibirnya. Kukecap darahnya yang anyir itu. Ini ciuman terakhir kami, yang benar-benar terakhir.

Aku kembali di ruang tamu tadi. Tanpa kusadari, ada "BAYAR HUTANGMU!" tertulis di lantai, tertulis dengan darah.

Senjaku tak pernah indah lagi. Oranyeku tak bisa kurasakan lagi. Senja ini, kuhabiskan dengan menatap langit. Menatap hangatnya oranye yang sudah tak hangat lagi dalam dadaku.

on Kamis, 07 Februari 2013

Aku terbaring di ranjangku. Menatap kosong langit-langit kamarku sambil melihat pertengkaran otak dan hatiku. Logika melawan perasaan. Mengapa mereka tidak berdamai, saling menyukai satu sama lain, lalu bercinta? Mengapa mereka seperti dua magnet yang medannya sama?

Aku sendiri ingin meledak! Meledak seperti--pokoknya secara harafiah. Aku lelah melihat pertengkaran perasaan dan logikaku. Tentang mana yang akan kupilih dalam membuat jalan ke depan. Ya, aku sedang berdiri di persimpangan.

Dia. Semua ini karena dia. Dia yang selalu membuatku semangat menjalani hari. Dia--pokoknya dia yang aku suka, bahkan aku cinta! Dia yang seperti mengisi setiap pelosok hatiku. Dia yang selalu membuatku berpikir kalau aku tidak sendirian di dunia ini. Dia teman, musuh, sahabat, dan pacarku. Aku menyukainya seperti seorang laki-laki normal yang menyukai wanitanya.

Aku selalu bercinta dengan kesepian. Namun, memang hanya dia yang selalu menepuk pundakku dan menggandeng tanganku. Mengajakku melihat ke dunia luar, menyadari bahwa dirinya lebih berharga dari kesunyian. Kemudian, aku teradiksi padanya.

Malam ini, dirinya hilang. Aku tak menemukannya. Logikaku memerintahkan untuk kembali pada sang Kesepian, sementara di hatiku masih terpatri nama dan kenangannya. Mereka bertengkar. Meributkan tentang jalan yang harus kupilih di persimpangan ini. Hatiku kalah, dia terlalu lemah untuk hal ini. Malam ini, aku kembali bercinta dengan kesepian.

on Rabu, 09 Januari 2013

Dingin bercampur hangat. Menusuk. Perasaanku terluka. Kemudian aku kembali ke dunia nyata setelah terbang entah ke mana. Mungkin aku kembali ke rumahku, Mars, untuk waktu yang singkat.

Dia menggenggam tanganku. Erat. Seperti tak membiarkan satu sel pun jatuh dan hilang. Tangannya sangat hangat. Hatinya terlebih.

Aku menyukainya. Dia juga menyukaiku. Kami pasangan. Pasangan yang rapuh. Aku terlalu dingin untuk hatinya yang hangat.

Aku terlalu takut. Takut kehilangan. Jantungku tiba-tiba berdegup lebih cepat. Aku takut kehilangan dia. Aku takut hatiku malah terasa seperti pisau yang dingin untuk hatinya yang sehangat pelukan. Aku takut hatiku malah seperti badai salju yang justru menyakitinya.

Maaf. Aku mungkin terlalu dingin untuk dirimu yang hangat. Aku mungkin terlalu pasif untuk dirimu yang riang. Biar bagaimanapun, aku seperti baru saja datang dari Mars. Dan kau dari Venus.

Egoku mempertahankan dinginnya hatiku. Ego seorang makhluk dari Mars yang sangat besar. Rasa egois yang malah menyakitimu.

Sang Ares mungkin tak memperdulikan hatinya yang sakit atau meronta. Dia hidup untuk perang. Namun aku mencoba hidup untuk tujuanku sendiri. Untukmu.

on Kamis, 06 Desember 2012

Malam ini hujan turun. Deras. Melepaskan udara dingin yang menusuk tulang. Merebak di seluruh ruangan. Aku sendiri terpojok di sudut ruangan, sambil menikmati setiap serangan dingin yang menyobek kulitku.

Aku memakai selimutku, seperti zirah perang yang dipakai angkatan perang. Tidak terlalu tebal, namun cukup untuk melindungi tubuhku dari udara dingin yang semakin menyiksaku.

Aku memutuskan untuk keluar, melihat hujan. Tubuhku dilapisi jas hujan dan jaket untuk menjaga rasa hangatnya. Old-fashioned. Terlebih payung besar hitam yang juga kupakai untuk memastikan diriku tidak terhujam air hujan. Ya, aku ingin menikmati momen ini. Aku ingin menyesap setiap memori yang tertinggal di setiap bulir-bulir air hujan ini.

Aku rindu. Dengan dia. Dia yang dulu selalu disampingku, dia yang selalu memperhatikanku. Dia yang mengusap setiap tetes air mataku, dia yang selalu meminjamkan hatinya untuk curahan hatiku. Dia yang bahunya selalu tersedia untuk sedihku.

Di suatu malam yang dingin dan bersama hujan yang sedang merajai sang cakrawala, ia memegang tanganku. Erat. Sepertinya rasa dingin membantai tubuhnya. Kami berlari kecil ke suatu kedai kopi untuk berteduh dan menghangatkan tubuh kami.

Hujan ini entah bagaimana meluapkan keberanianku. Seakan terbawa perasaan, aku lalu memberanikan diri untuk menjadikan dia pacarku. Ya, aku menyatakan perasaanku padanya. Perasaan yang tertahan di pintu hatiku yang baru saja diluapkan padanya.

Di tengah hujan ini, kami mengambil alih dunia. Kamilah pemilik dunia ini. Di tengah hujan ini, bibir dan pelukan kami bertemu. Masa bodoh dengan orang yang melihat kami. Kami akan musnahkan mereka. Toh, kami pemilik dunia ini. Kami membiarkan setiap detik dilewati dengan penuh memori. Dan meskipun hujan turun, setiap detik terlewati penuh kehangatan. Terutama di dalam hati kami, yang sangat terasa hangat.

Aku kembali tersadar. Baru saja aku ditelan waktu dan dilahap oleh flashback. Aku memperhatikan setiap rintik hujan yang jatuh dengan tatapan kosong. Rindu. Aku rindu sekali. Aku berharap dia disini. Aku masih ingat ketika bibirnya yang tipis menyentuh bibirku, membiarkan aku tenggelam dalam perasaan yang dalam. Aku masih ingat pelukan hangatnya yang terasa sampai di hati. Pelukan yang selalu menenangkan jiwaku dari segala ketakutan dan resah.

Aku hanya bisa merasakan rindu yang menyesakkan ini. Di antara hujan, aku hanya bisa mengenang setiap memori bersamanya. Air mataku meleleh. Meleleh karena rasa ini terlalu dahsyat untuk dibendung. Terlalu pekat untuk membiarkan jiwaku bertingkah normal. Rindu ini meronta, ingin terpuaskan keinginannya. Rindu ingin meronta, ingin aku untuk bersua dengan dia.

Karya : Bagas Putra Reynara